Musibah
yang baru kemarin terjadi seolah terulang. Hari ini, ayahku menjadi korban
perampokan. Satu unit mobil APV beserta isinya habis diambil pelaku. Aku sangat
bersyukur karena nyawa ayahku selamat. Ayahku sangat syok karena kejadian yang
baru saja dialaminya hampir merengkuh nyawanya. belum juga satu unit mobil yang
didalamnya berisi Laptop, handphone, serta surat-surat berharga yang
setiap hari ia membawanya lenyap begitu saja. Kejadian ini telah membuat heboh para tetangga yang berdatangan
ingin melihat keadaan ayahku. Entah ini cobaan atau hukuman.
Tiga hari berlalu. Wajah ayahku masih kulihat
gelap. Aku tak ingin mengajaknya bicara panjang lebar, karena kutahu ia sangat
keras terlebih ia baru saja mendapat kejadian yang membuatnya sangat syok. Semakin
hari sifat ayahku berubah. Ayahku juga
sering kudengar memaki-maki kedua adik kecilku. Kedua adikku masih kuanggap
dibawa umur yang tidak pantas diperlakukan seperti itu. Vira berumur tiga tahun
dan Didit berumur enam tahun. Aku terkadang membela adik-adikku ketika sedang
dimarahi ayah hingga aku juga ikut
menjadi korban pelampiasan ayah. Hati kecilku ini selalu menangis melihat
adik-adik kecilku yang ditinggal ibunya
entah kemana diperlakukan seperti itu. Kadang-kadang aku membawa adikku ikut ke
sekolah, terutama Vira adikku yang paling kecil. Aku
tidak tega adik-adikku tersayang menjadi sasaran murka ayahku. namun,
bagaimanapun ia tetap ayahku. Kuyakin ia masih memiliki rasa sayang terhadap
anak-anaknya. Mungkin semua ini hanya karena ayah tidak tahan menghadapi
masalah yang datang bertubi-tubi ini. Ditambah ayahku baru saja berpisah dengan ibuku.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan aku
mulai bosan mendengar perkataan-perkataan ayahku yang bernada tinggi. Tampaknya
kedua adikku mulai benci kepada ayah. Namun aku berusaha mengharumkan nama ayah
di depan mereka. Sejujurnya Aku juga
mulai benci ayah. Hanya setitik tinta di hatiku yang menyatakan ayah melakukan
semua ini hanya untuk anak-anaknya. Ku berusaha melawan semua itu. Hingga perlahan-lahan
ku mulai menentang hati kecilku itu dan selalu berperisangka baik kepada ayah.
Ayahku ingin membeli sebuah
mobil baru untuk dipakainya pulang-pergi kantor. Aku dan adik-adikku juga ikut
senang terutama adik terkecilku yang sangat aku sayang. Ia sangat ingin bertemu Ibu.
“jika ayah punya mobil baru, kita semua akan
pergi menemui ibu!. Janjiku kepada kedua adikku.
Setiap kali aku berkata begitu adik-adikku
tampak senang dan keceriaan diwajahnya sangat tampak. Meskipun perkataanku itu
belum pasti benarnya. Aku sendiri saja tidak tau keberadaan dan keadaan ibu
seperti apa sekarang. Ini semua kulakukan hanya untuk menghibur adikku sehabis
dimarahi ayahku. Dan pernah suatu ketika aku bertanya kepada ayah mengenai
keadaan ibu ayahku sangat marah. Dari nada perkataannya ia sepertinya sangat benci
kepada ibuku. Aku tidak tau apa yang sebenarnya telah terjadi pada kedua orang
tuaku.
***
“Ya Allah berikanlah kami ketabahan menjalani
semua ini, janganlah Engkau menjadikan kami sebagai hamba-hamba yang tidak
pandai bersabar. Ampunilah kami semua jika kami telah berbuat salah. Sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Itulah doa yang setiap kali kupanjatkan ketika
habis shalat berjamaah bersama adik-adikku. Aku sendirilah yang mengurus
adik-adikku mulai dari pagi hingga malam hari. Aku sadar sendiri bahwa kami
tidak seperti dulu lagi. Dimana ibu tidak lagi ada. Jadi akulah yang mengganti peran
ibu entah untuk sementara ataukah selamanya.
***
Hari ini hari senin. Aku agak cepat ke sekolah.
Vira dan Didit masih tertidur pulas. Aku tak ingin mengganggunya yang lagi
tidur. Ku cium kening kedua adikku sebelum ku berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah aku kurang
berkonsentrasi menerima pelajaran. Tiap menit kuingat adik-adikku di rumah. Sangat
jarang kulihat mereka bahagia. Aku ingin sekali membahagiakan mereka.
“Tteeet!!
Bunyi bel menandakan proses belajar mengajar
telah selesai. Aku bersegera meninggalkan kelas berlari menuju sebuah toko
mainan anak-anak. Aku sengaja menyimpan beberapa uang jajanku untuk membelikan
kedua adikku mainan. Didit kubelikan Game Mini,
sedangkan Vira ku belikan jam tangan berwarna pink mirip dengan jam
tangan pemberian ibu yang sudah rusak beberapa hari lalu. Secepatnya aku
meninggalkan toko tersebut menuju rumah. Aku sangat bersyukur bisa membelikan
sesuatu untuk adik-adikku tercinta. Terutama Vira yang ingin sekali dibelikan
jam tangan berwarna pink. Ku tidak sabar lagi
ingin bertemu kedua adikku.
Tidak terasa Aku sudah berada di depan pagar
rumahku. Hatiku tambah senang ketika kulihat mobil baru ayah di parkiran begitu bagus. Didit lagi asyik duduk-duduk santai di
halaman rumah.
“oh ia Dit aku beliin kamu sebuah mainan!”. Kata ku sambil memberikan Game mini kepadanya.
Aku sangat bahagia melihat Didit
begitu senang menerima pemberianku.
“sudah lama kurindukan keceriaanmu Dit!”. Oh ia Vira mana? Tanyaku
pada didit.
“Vira lagi menggambar Kak!!” jawabnya.
“Di mana? Kok Didit nggak bilang kalau Vira
senang menggambar?. Tanyaku dengan wajah berseri-seri.
“Vira lagi menggambar di mobil Ayah!! ucap
didit sambil menunjuk kearah mobil baru Ayah.
Tak lama setelah Didit berkata ku dengar
teriakan Ayah yang tidak seperti biasanya. Kedengarannya ia sangat marah. Aku
tersentak kaget ketika kusaksikan
Ayah memukul tangan Vira dengan ranting yang berduri. Aku langsung berlari
menuju Vira. Beberapa kali ayah memukul tangan Vira dengan keras. Tapi apa
daya, Aku anak perempuan yang hanya bisa berteriak kencang “Ayah kejam”. ku
meneteskan air mata melihat Vira merintih kesakitan
sambil memanggil-manggil
namaku. Aku tak tahan dengan semua ini.
“Ayah! Vira masih kecil! Biar saya saja yang menggantikannya!”
pintaku diabaikannya.
Kesedihanku semakin tampak ketika kulihat darah
dari tangan Vira mengalir begitu banyak. Ku tidak menyangka ayah bisa sekejam
ini. Kenapa ayah lebih mencintai mobil daripada anak sendiri. Kenapa ayah?.
Mungkinkah ini alasannya Ayah dan ibu berpisah.
“Ayah kejam!!”. Rintihanku mengguncang langit dan terjatuh.
***
Beberapa saat kemudian aku mulai sadarkan diri.
Aku sempat
lupa apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ingatanku kembali ketika ku melihat
darah di lantai. Aku kembali mencari Vira dengan tergesa-gesa. Aku sangat
khawatir keadaan Vira. Aku sangat takut
terjadi apa-apa sama Vira. Lalu kudengar suara orang-orang di depan rumahku. Sepertinya semua
orang sudah mengetahui apa yang telah terjadi. Belum sampai di luar seseorang
menahanku.
“Mana Vira?”, Mana adik
saya?”.
“Vira lagi dibawa ke
rumah sakit dik!” seru seseorang yang tidak ku kenal.
Aku hanya bisa duduk
termenung mendoakan Vira, adikku. Hatiku mendobrak-dobrak ingin keluar. Mungkin
Vira lagi mencariku sekarang. Ataukah Vira lagi ingin memakai jam tangan
pemberianku yang belum sempat ia pakai. Vira masih kecil. Vira belum tahu
apa-apa. Tidak sepantasnya ayah memperlakukan Vira seperti itu. Ya Allah,
lindungilah Vira.
***
Keesokan harinya aku
merasa sangat lega. Suara mobil ayah telah kudengar fari ruang kamarku. Ku
ambil tasku yang berisi jam tangan berwarna pink kesukaan Vira. Aku bergegas
lari mendatangi Vira. Belum sampai di pintu wajahku yang tadinya ceria berubah
menjadi gelap. Tubuhku dipenuhi badai. Ku tak bisa berkata apa-apa lagi. Seolah
ini scenario yang berlebihan. ini semua di luar pikiranku. Kini Vira tidak bisa lagi
mengenakan jam tangan pemberianku. Kedua tangannya telah diamputasi. Vira hanya
bisa duduk lemas di atas kursi roda memanggil-manggil namaku.
0 komentar:
Posting Komentar